Maulid nabi, sebuah even yang dirayakan oleh umat muslim di indonesia dengan begitu meriahnya. Namun, apakah sekadar perayaan semacam pembacaan kitab barzanji, manaqib dll, ataupun perayaan grebeg Mulud yang menjadi simbol peringatan ini?
Ketika khilaf (pertentangan) tentang perayaan Maulid Nabi diantara umat islam di indonesia yang ‘tradisional’ dan yang ‘modern’ tak pernah berujung, bid’ah atau tidak bid’ah.
Ketakutan umat mengenai hal semacam ini patutlah disyukuri, karena, mungkin inilah setitik kesadaran beragama yang masih tersisa di benak umat saat ini. Namun, karena pertentangan terus berlarut-larut. Ada baiknya kita ambil suatu jalan tengah yang mungkin bisa diterima.
Terlepas dari sisi ibadah peringatan ini. Ada suatu esensi yang sangat penting. Dan, esensi ini adalah hal yang baik. Kita tidak mengharapkan pahala dari merayakannya, tetapi (mungkin), setelah kita merayakannya ada suatu pelajaran tentang keteladanan Rosulullah yang akan mendatangkan kebajikan pada pribadi kita.
Sejarahsingkat-
Di Indonesia, tradisi ini disahkan oleh negara, sehingga pada hari tersebut dijadikan sebagai hari besar dan hari libur nasional. As-Suyuti dalam Kitab Husn Al-Maqosid fi Amal Al-maulid menerangkan bahwa orang yang pertama kali menyelenggarakan maulid Nabi adalah Malik Mudzofah Ibnu Batati, penguasa dari negeri Ibbril yang terkenal loyal dan berdedikasi tinggi. Mudzorofah pernah menghadiahkan sepuluh ribu dinar kepada Syekh Abu Al-Khotib Ibnu Dihyah yang telah berhasil menyusun sebuah buku riwayat hidup dan risalah Rasulullah dengan judul At-Tanwir fi maulid Al-Basyir Al-Nazir. Pada masa Abbasyiyah, sekitar abad kedua belas masehi, perayaan maulid Nabi dilaksanakan secara resmi yang dibiayai dan difasilitasi oleh khalifah dengan mengundang penguasa lokal. Acara itu diisi dengan puji-pujian dan uraian maulid Nabi, serta dilangsungkan dengan pawai akbar mengelilingi kota diiringi pasukan berkuda dan angkatan bersenjata.
Sebuah kisah yang luar biasa di ukir oleh Khalifah islam saat itu, Salahuddin al-ayyubi berhasil merebut kembali Yerusalem setelah hampir seratus tahun berjuang melawan kaum kafir Romawi. Dan disinyalir, kemenangan pasukan ini berawal dari bangkitnya moral kaum muslim untuk berjihad yang didongkrak dengan semangat maulid(kelahiran) Nabi.
Tidak pernah diajarkan Rosulullah-
Maulid Nabi adalah bid’ah, inovasi. Bid’ah mahmudah, inovasi yang baik, dan tidak bertentangan dengan syariat. Ibnu Hajar Al-Atsqolani dan As-Suyuti keduanya mengatakan bahwa status hukum maulid Nabi adalah bid'ah mahmudah. Yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, tetapi keberadaannya tidak bertentang dengan ajaran Islam. Bagi As-Suyuti, keabsahan maulid Nabi Muhammad SAW bisa dianalogikan dengan diamnya Rasulullah ketika mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura sebagai ungkapan syukur kepada Allah atas keselamatan Nabi Musa dari kejaran Fir'aun. maulid Nabi, menurut As-Suyuti, adalah ungkapan syukur atas diutusnya Nabi Muhammad SAW ke muka bumi. Penuturan ini dapat dilihat dalam Kitab Al-Ni'mah Al-Kubra Ala Al-Alam fi Maulid Sayyid Wuld Adam.
Sikap yang moderat-
Pelaksanaan maulid Nabi adalah perbuatan Bid'ah walaupun disinyalir mendatangkan dan memberikan manfaat kehidupan beragama kaum muslimin secara filosofis, peringatan maulid Nabi dapat menumbuhkan rasa cinta kepada Rasulullah yang kemudian ditunjukkan dengan mengikuti segala sunahnya dan menumbuhkan kesadaran akan beragama menuju kesempurnaan takwa, tapi tetap didahului dengan perbuatan Bid'ah. Secara sosiologis, dengan asumsi kehidupan manusia di abad ini, dengan kecenderungan bergaya hidup konsumeristik, hidonistik, dan materialistik, punya andil cukup besar terhadap penurunan tingkat kesadaran seseorang, maka peringatan maulid Nabi menjadi tuntutan religius yang penting. Wallahu a’lam.
Kekhawatiran ini tidak terlalu berlebihan bila kita lihat sabda Nabi:
“Pada mulanya Islam itu asing dan akan kembali asing, maka berbahagianlah bagi orang-orang asing, yakni mereka yang telah menghidupkan sunah Nabi, setelah dirusak orang. Orang yang berpegang teguh dengan sunahku ketika terjadi wabah dekadensi moral, pahalanya sama dengan pahala seratus orang yang mati syahid.” (HR. Ibnu Abbas)
0 komentar